08 August 2013

Ketika kedukaan hadir, terasa ia lebih besar dari bumi hingga tiada terdaya menanggung berat dan besarnya cubaan yang mendatang.

Memudian kita menangis sepuasnya. Menangis untuk melepaskan segala yang menyekat benak dan hati. Menangis untuk meredakan api amarah yang marak. Menangis membanjirkan seluruh isi yang tiada terlafaz dengan tutur dan bicara.

Air mata yang tumpah ke bumi terus berlalu bersama dengan isinya sebuah kelukaan, kemarahan, kekecewaan, kekesalan dan kepedihan. Tiada pula mata itu meronta sakit menanggung bebanan ke atasnya. 

Air mata terus setia menyimpan segala cerita di dalam perut bumi. Dengan izin Yang Maha Pengasih, hati itu menjadi tenang setelah dimandikan dengan hujan air mata. Hati itu tidak lagi menggelupur di makan api amarah.

Mampukah air mata menampung segala kedukaan yang digambarkan sebesar bumi itu? Sedangkan mata dijadikan Allah dengan saiz yang kecil. Mampukah mata menampung air mata yang cukup untuk menumpahkan segala kelukaan itu?

Alangkah hebatnya ciptaan Allah mencipta makhluk bernama mata yang menampung air yang sangat banyak jumlahnya. 

Kemudian Allah beri ciptaan terhebat itu kepada hambaNya yang bernama insan.

Memikirkan semua itu aku jadi malu untuk menangis. Malu pada mata yang kecil menanggung segala deritaku yang dirasakan besar. Malunya bila mataku tidak pernah mempersoalkan segala luka yang kucurahkan kepadanya tanpa sebarang keluh, rungut dan sedih. malah ia tetap teguh dan setia dengan perintah Allah agar ia terus menemaniku hingga di akhir hayatku.

Ya Allah, ampunilah aku...
Ampunilah aku wahai yang Maha Pengampun....
ampunilah aku...




Mimpi Sekeping Hati

bagaimana lagi 
dapat diseka hujan di mata
mendung hitam bertamu
menutup seri daerah sepi

bertahun sudah
disemai pohon hajat
daerah ini dipenuhi bunga menyeri
harumnya senyum di bibir
tiap penghuni
redha pada kurang dan cela diri

masih bisakah 
mata ini menatapnya
sebelum terpejam erat
masih bisakah diraikan
atau segalanya kekal 
jadi mimpi
hanya bisa dinikmati
kala lena menemani 

Rakusnya 
kilat menyambar tiada belas
membakar segalanya
hanya debu berterbangan
memanggil untuk terus berdiri
mencipta lagi sebuah mimpi
mengubati luka sekeping hati

bagaimana bisa
berdiri terus
dengan daerah mimpi
indahnya pergi tika mentari kembali
sedang nyata 
segalanya masih
meratap luka sekeping hati

bagaimana dapat bertahan
untuk sedetik lagi
kira luka terus dilukai


1 Syawal 1434






BERAT

...Sayu telinga mendengar sendu, 
sayu lagi telinga yang menanggung cerita. 
Pedih hati mendekati resahnya, 
lebih pedih hati yang menanggung lukanya. 
Berat mata memandang, 
berat lagi bahu yg memikulnya 
tiada yang faham betapa payahnya berjalan
dilaluan yang penuh duri
 tiap detik dibasahi air mata...

...hanya DIA yang tahu...